Jakarta (PARADE.ID)- Pandemi Virus Corona alias Covid-19 sudah melumpuhkan ekonomi dunia. Kontraksi parah terjadi bahkan menurut Bank Dunia terparah sejak Perang Dunia II.
Aktivitas ekonomi di antara negara-negara maju menyusut drastis hingga 7% di tahun 2020. Pasar ekonomi berkembang juga menyusut hingga 2,5%. Ini merupakan pertama kalinya ekonomi negara berkembang terkontraksi sejak 60 tahun lalu.
Masih dari Bank Dunia, diproyeksikan pendapatan per kapita akan menurun 3,6% yang membawa kepada jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem.
Pukulan itu menghantam paling keras di negara-negara di mana pandemi menjadi yang paling parah dan di mana ada ketergantungan besar pada perdagangan global, pariwisata, ekspor komoditas, dan pembiayaan eksternal.
Indonesia termasuk jika melihat hal itu. Sementara besarnya gangguan akan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain.
Tak lupa gangguan dalam sekolah dan akses layanan kesehatan primer cenderung memiliki dampak jangka panjang pada pengembangan sumber daya manusia.
“Ini adalah pandangan yang sangat mendalam, dengan krisis yang cenderung meninggalkan bekas luka jangka panjang dan menimbulkan tantangan global yang besar,” kata Wakil Presiden Bank Dunia Ceyla Pazarbasioglu dalam risetnya.
“Ini keadaan darurat ekonomi. Selain itu, komunitas global harus bersatu untuk menemukan cara untuk membangun kembali pemulihan yang sekuat mungkin untuk mencegah lebih banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan dan pengangguran.”
Sri Mulyani Mulai Suarakan Waspada Resesi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan jika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah direlaksasi namun publik tidak spending alias berbelanja maka Indonesia bisa jatuh ke jurang resesi.
Dalam proyeksi Kemenkeu, dengan adanya biaya penanganan Covid-19 yang mulai tersalurkan dan PSBB yang direlaksasi namun dengan dukungan belanja maka kuartal III dan IV PDB bisa tumbuh 1,4%.
“Tapi kalau dalam [dengan asumsi tidak berbelanja] bisa -1,6%. Itu technically bisa resesi. Kalau kuartal III negatif dan secara teknis Indonesia bisa masuk ke zona resesi,” papar Sri Mulyani dalam perbincangannya dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6/2020).
Skenario tersebut masuk ke dalam proyeksi Kemenkeu. Di mana pada kuartal III dan IV PDB akan tumbuh 1,4% sampai negatif 1,6%. “Sementara outlook seluruh tahun -0,14 sampai positif 1 persen,” tegas Sri Mulyani.
Sri Mulyani menegaskan bahwa 2020 adalah tahun yang luar biasa. Bukan dalam konteks yang positif, tetapi tantangannya yang sangat besar.
Akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019.Covid-19), lanjut Sri Mulyani, Bank Dunia memperkirakan ekonomi global terkontraksi atau tumbuh negatif -5,2%. “IMF (Dana Moneter Internasional) kita akan lihat beberapa bulan ke depan, biasanya outlook Juli. Pasti ada revisi,” katanya.
Indonesia, tambah Sri Mulyani, tidak terkecuali. Pada kuartal II-2020, eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengungkapkan kontraksi ekonomi nasional akan sebesar -3,1%.
“Pada kuartal II akan ada kontraksi karena PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dilakukan dan memberi kontribusi ke pertumbuhan ekonomi yang besar. Ini akan mempengaruhi kuartal II yang kita perkirakan -3,1%,” katanya.
Jika dalam dua kuartal berturut-turut ekonomi Indonesia negatif maka sudah pasti masuk zona resesi.
Kemiskinan Bakal Bertambah
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan memproyeksikan terjadinya penambahan jumlah angka kemiskinan di Indonesia, akibat pandemi covid-19.
Direktur Dana Transfer Khusus DJPK, Putut Hari Satyaka mengatakan, penambahan angka kemiskinan paling besar, akan terjadi di Pulau Jawa, mengingat pulau Jawa merupakan daerah epicentrum penyebaran covid-19.
Angka kemiskinan yang bertambah itu, kata Putut merupakan efek dari terganggunya aktivitas ekonomi nasional dan adanya penerapan pembatasan sosial skala besar (PSBB), yang akhirnya membuat ekonomi di beberapa daerah lesu.
Dengan begitu, potensi dampak sosial penurunan pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap penambahan angka kemiskinan. Kata Putut untuk skenario berat akan bertambah sekitar 1,16 juta orang, sangat berat 3,78 juta orang.
Pengangguran Ikut Tinggi
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, dengan kondisi ini saat ini, maka pengangguran ini tahun depan bisa tembus hingga 12,7 juta orang.
“Karena 2020 pengangguran (diproyeksi) bertambah sekitar 4 juta orang hingga 5,5 juta orang dan kalau ini terjadi maka 2021 pengangguran akan sampai 10,7 juta orang-12,7 juta orang,” ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (22/6/2020).
Menurut Suharso, jumlah pengangguran ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data terakhir. Per Februari 2020, jumlah pengangguran telah mencapai 6,88 juta orang.
Dengan demikian, maka saat ini pemerintah akan melakukan berbagai kebijakan untuk bisa mengurangi hal tersebut. Salah satunya dengan memberikan bantuan agar semua sektor industri bisa kembali berjalan dan juga dengan melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Tsunami PHK
Kadin Indonesia mencatat ada 6 juta lebih pekerja yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan akibat covid-19. Jumlah yang dirumahkan memang lebih besar hingga 90%.
Namun, mulai dibukanya ekonomi dengan transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang berdampak dengan aktivitas ekonomi mulai menggeliat. Namun, aktivitas ekonomi belum sepenuhnya normal sediakala. Sebagian besar pekerja bahkan harus masih dirumahkan alias menganggur di rumah.
Wakil Ketua Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan selama pandemi menurut laporan-laporan asosiasi bahwa jumlah pekerja yang dirumahkan dan PHK mencapai 6 juta orang. Meski berdasarkan data Kemenaker per 27 Mei 2020, sektor formal yang dirumahkan mencapai 1.058.284 pekerja dan yang di-PHK sebanyak 380.221 orang pekerja.
“Data asosiasi sudah lebih 6 juta dirumahkan dan PHK, yang sekarang banyak yang masih dirumahkan,” kata Shinta kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (23/6).
Ia mengakui semenjak ada pembukaan ekonomi kembali pada medio Juni 2020 memang ada denyut ekonomi yang mulai bergerak, tapi masih butuh waktu lagi untuk bisa ke kondisi normal.
“Setelah pelonggaran PSBB, perbaikan jelas ada, sebelumnya aktivitas ekonomi berhenti, sekarang perlahan dibuka, cuma tak bisa langsung, perlahan dan bertahap,” katanya.
Ia mengatakan dari sisi permintaan saat ekonomi mulai dibuka tak langsung lompat karena butuh proses apalagi sektor-sektor yang bukan primer. Sedangkan sektor-sektor ritel seperti mal yang sudah buka pun tak langsung bergeliat pesat.
“Kegiatan mal itu tak bisa langsung. Ada cashflow yang sudah parah, perlu ada bantuan,” katanya.
(cnbcindonesia/PARADE.ID)