Jakarta (parade.id)- Menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto, Forum Warga Negara menggelar diskusi bertajuk “Menuju Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Bisul-bisul Permasalahan Bangsa, di Mana Akarnya?” di Omah Pawon, Ampera Raya, Cilandak Timur, Jakarta Selatan, Selasa (7/10/2025). Para pembicara secara tegas menyebut hilangnya prinsip kepemimpinan moral sebagai akar dari berbagai krisis yang melilit bangsa.
Sudirman Said, Rektor Universitas Harkat Negeri, membuka diskusi dengan kritik tajam terhadap kemerosotan tata kelola dan etika publik yang memicu pembentukan Forum Warga Negara pasca aksi massa Agustus lalu. Menurutnya, ada empat tantangan besar yang mendera: korupsi dan nepotisme yang marak, ekonomi lumpuh akibat ketimpangan, demokrasi yang substansinya kering, dan kerusakan ekologi demi kepentingan jangka pendek.
“Akar masalahnya adalah hilangnya prinsip kepemimpinan moral. Kekuasaan digunakan untuk apa saja—termasuk milik negara untuk memperkuat keluarga—kalau bisa selama-lamanya. Terjadi perusakan tata kelola dengan perubahan undang-undang,” tegas Sudirman.
Meski mengapresiasi beberapa langkah koreksi seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan reformasi Polri, Sudirman menekankan perlunya koreksi total dari pemerintahan Prabowo.
MBG: Dari Program Unggulan Jadi Puncak Gunung Es
Diah Saminarsih, CEO/Founder CISDI, justru mengkritik keras pelaksanaan program MBG yang disebutnya telah menjadi “puncak gunung es” permasalahan kesehatan. Menurutnya, kasus keracunan MBG yang mencapai 9.000 orang di berbagai lokasi mencerminkan kegagalan operasional program yang berisiko tinggi karena bersifat konsumsi.
“Ini seperti wabah. Padahal awalnya atensinya cukup bagus. Kesehatan itu urusan politik, tapi sering dipakai hanya pada masa kampanye. Setelah selesai, kesehatan ditinggalkan,” ujar Diah tersambung via online.
Ia juga menyoroti ketimpangan gender dalam pengambilan keputusan sektor kesehatan, di mana 80 persen SDM kesehatan adalah perempuan namun keputusan diambil oleh laki-laki. “Kita ini dikepung makanan dan minuman yang tidak sehat. Harus ada penguncinya lewat kebijakan kalau mau Indonesia Emas 2045,” tambahnya.
Politik Luar Negeri Tanpa Bobot dari Dalam
Shofwan Al Banna, akademisi UI, menilai meski Prabowo terlihat aktif di forum internasional seperti Sidang Umum PBB—berbeda dengan era Jokowi—namun kebijakan luar negeri Indonesia terancam tidak berbobot jika persoalan dalam negeri berantakan.
“Kebijakan luar negeri dimulai dari rumah. Kalau dalam negeri berantakan, kemudian berkunjung ke forum internasional dan berucap luar biasa, itu takkan berbobot,” katanya.
Shofwan juga mengingatkan ancaman krisis seperti yang terjadi di Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka akibat perubahan kebijakan keuangan internasional terhadap ekonomi domestik yang tidak disikapi dengan baik.
Korupsi: Ketidakpahaman yang Disengaja
Chandra M. Hamzah, mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2011, menyoroti ketidakpahaman—atau yang ia sebut sebagai ketidaksengajaan—dalam mendefinisikan korupsi. Menurutnya, narasi korupsi selama ini hanya fokus pada pencurian SDA dan APBN, namun mengabaikan gratifikasi ilegal yang diterima pegawai negeri.
“Korupsi itu juga mencakup penerima suap dan pemerasan. Kewenangan dimonetisasi. Misalnya ada kasus menteri memaksa minta kuota haji ke travel haji. Asal muasal pemerasan adalah karena menganggap diri lebih tinggi. Pengemban kewenangan merasa dirinya ‘tuan’,” ungkap Chandra.
Negara Pertunjukan dan Ancaman Otoritarianisme
Kritik paling keras datang dari Sukidi, pemikir kebinekaan, yang menyebut presiden hidup di dunia sendiri dan memperlakukan negara sebagai negara pertunjukan semata. Upacara kenegaraan dijadikan instrumen kebijakan populis tanpa benar-benar menjiwai kepayahan masyarakat.
“Prahara Agustus adalah perlawanan kelas menengah terhadap elit dan kebijakan negara yang tidak adil. Itu kemarahan rakyat terhadap pemimpin yang kehilangan empati,” tegas Sukidi.
Ia menyebut program MBG sebagai kampanye politik untuk kepentingan 2029, bukan untuk kemajuan bangsa. “Tidak ada teori bahwa MBG bisa membuat kemajuan bangsa dan negara,” kritiknya.
Sukidi juga memperingatkan munculnya populisme dan kebangkitan otoritarianisme. “Serasa hidup di demokrasi, tapi hidup dalam zaman otoritarianisme. Tren yang terjadi adalah kematian meritokrasi dan berkembangnya aristokrasi—budaya menjilat pemimpin,” katanya.
Menurutnya, naiknya anggaran Kemhan dan MBG adalah tanda bangsa kehilangan arah. Ia mengajak warga negara turun ke jalan, menggunakan teknologi dan ruang sipil sebagai instrumen perlawanan.
“Pujian adalah pembunuh diam-diam. Post-truth adalah tangga menuju fasisme. Mari kita terpanggil menjaga republik ini dengan perjuangan agar tidak jatuh pada situasi yang semakin berat. Tegakkan pondasi the rule of law,” pungkas Sukidi.
Forum Warga Negara menekankan pentingnya kesadaran bersama dan seruan masyarakat luas untuk menciptakan momentum perbaikan besar-besaran sebelum krisis semakin dalam.*