Oleh: Ardiansyah
Ketua Umum HMI Cabang Gowa 2021-2022
Joko Widodo (Jokowi) dalam hitungan bulan akan merampungkan masa kepemimpinannya sebagai Presiden RI. Dalam kurun waktu kurang – lebih 7 tahun memimpin negeri ini, Jokowi telah menunjukkan sosoknya yang dingin, tak banyak bicara dan dipenuhi gimmick.
Tiga nama mengerucut sebagai pengganti Jokowi di istana. Mereka adalah Anies Baswedan yang dicalonkan oleh Partai Nasdem, Ganjar Pranowo yang dideklariskan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan tentu saja Prabowo Subianto.
Nama terakhir adalah orang nomor satu sekaligus simbol dari Partai Gerindra. Pesta demokrasi 2024 nanti disebut-sebut sebagian kalangan sebagai panggung Pilpres terakhir Prabowo–andai saja ia tidak terpilih lagi.
Ketiga tokoh yang digadang-gadang sebagai bakal capres merepresentasikan model kepemimpinan. Mereka berasal dari kultur dan spektrum politik yang berbeda.
Anies Baswedan: Akademisi Banyak Gelar Cenderung Tak Mendengar?
Dimulai dari Anies Baswedan. Latar belakangnya adalah seorang akademisi. Sebelum duduk sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017, Anies dikenal dari forum – forum intelektual.
Wajahnya menghiasi layar pemberitaan Doctor of Philosophy, pimpinan kampus Paramadina, sekaligus penggagas program kerelawanan pendidikan yaitu Indonesia Mengajar.
Pada umumnya sebagai seorang akademisi, Anies cenderung mengedepankan model kepemimpinan retoris. Dalam arti bahwa Anies mengedepankan kemampuan komunikasi untuk memengaruhi publik dan atau bawahannya.
Dalam banyak kasus yang dialami penulis, pemimpin dengan sederet gelar pendidikan cenderung formalistik sesuai budaya akademik yang ketat. Gaya kepemimpinan seperti ini lebih berorientasi hasil daripada sebuah proses.
Menurut penulis, pemimpin yang besar dari iklim akademik cenderung “tidak mendengar” sebab merasa lebih tahu dengan dasar legitimasi gelar akademik tersebut.
Ganjar Pranowo: Politisi, Petugas Partai
Ganjar Pranowo yang saat ini menjabat Gubernur Jawa Tengah adalah sosok pure seorang politisi. Dari Senayan sebagai Anggota DPR RI, ia melenggang sebagai orang nomor wahid di provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga.
Sama seperti Jokowi, Ganjar Pranowo adalah petugas partai yang dikonstruksi oleh gagasan Marhaenisme Soekarno. Tapi, menurut penulis, keduanya sama sekali tidak merepresentasikan model kepemimpinan Bung Karno yang dikenal tegas.
Berkaitan Ganjar dan Soekarno, mengutip Feith dalam bukunya The Decline ofConstitutional Democracy in Indonesia (1962), menyebutkan Soekarno merupakan pemimpin tipe pemersatu.
Sementara Ganjar tidak bisa disebut demikian, sebab baru-baru ini, yang bersangkutan gagal mempersatukan semangat publik sepak bola yang menginginkan Piala Dunia U-20 digelar di Indonesia akibat komentarnya menolak Timnas Israel.
Komentar Ganjar menolak Israel pada pegelaran akbar tersebut, turut memengaruhi tingkat keterpilihannya yang menurun berdasarkan hasil survei LSI Denny JA.
Pada kasus lain, Ganjar menjadi sorotan karena dianggap memberikan karpet merah terhadap tambang endesit di Wadas, Purworejo, yang memicu kecaman luas.
Selain itu, sebagai politisi, Ganjar menganut model kepemimpinan yang lebih cair dalam arti bahwa dinamis. Karakteristik demikian menurut penulis, tumbuh dari budaya seorang yang pernah bergelut di dunia aktivis (kader GMNI).
Budaya Sunda yang melekat pada Ganjar, sedikit banyak memengaruhi karakteristik kepemimpinannya sebagai politisi santun atau karunya dalam filosofi masyarakat Sunda. Ia berusaha meniru model kepemimpinan Jokowi yang juga berasal dari Jawa Tengah.
Prabowo Subianto: Kepemimpinan Ala Tentara
Dibanding dua nama sebelumnya, Prabowo Subianto dinilai menerapkan model kepemimpinan yang tegas. Latar belakang sebagai bekas tentara (militer), tentu memengaruhi karakteristik kepemimpinan Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Dalam budaya militer, sebuah keputusan diambil tidak melalui proses yang demokratis. Sebabnya, model kepemimpinan militer menerapkan konsep top – down atau dari atas ke bawah.
Kepemimpinan Prabowo sebagai bekas Letnan Jenderal TNI, mencerminkan Power and Authority (kekuasaan dan wewenang otoritas). Hal itu dapat dilihat dari kebijakan Menteri Pertahanan ini memimpin partainya.
Suksesi kepemimpinan Partai Gerindra di tingkat daerah maupun di level provinsi, diputuskan melalui hak prerogratif Prabowo sebagai “pemilik partai”. Sependek pengetahuan penulis, tak ada musyawarah cabang ataupun musyawarah daerah Partai Gerindra.
Proses kepemimpinan dilakukan secara terpusat di DPP. Hal ini disinyalir tidak lepas dari karakteristik militer yang dianut Prabowo. Padahal, idealnya,partai politik adalah laboratorium pembangunan demokrasi.
Terlepas dari model dan budaya kepemimpinan ketiga tokoh tersebut, penulis mendorong masyarakat untuk berhati – hati dalam pemimpin. Masa depan bangsa kita ke depan sangat ditentukan oleh kebijakan kepala negara.
Selamat menyambut pesta demokrasi!